6 GAYA BERFILSAFAT ala K. BERTENS
Pemikiran filsafat dimengerti dan dilakukan dengan berbagai cara. Hal ini yang kemudian prinsip "Variis modis bene fit" beraku untuk diterapkan sehingga mampu melalui banyak cara dengan gaya yang berbeda-beda pula. Tak perlu berlama-lama, inilah beberapa gaya berfilsafat yang harus Anda ketahui.
Gaya Berfilsafat menurut K. Bertens
Bertens, dalam bukunya Tantangan Kemanusiaan Universal, menengarai bahwa terdapat beberapa gaya dalam berfilsafat. di antaranya adalah sebagai berikut:
Berfilsafat yang Terkait Erat dengan Sastra
Pada gaya berfilsafat ini, sebuah karya filsafat dipandang mempunyai nilai sastra yang tinggi. Contohnya adalah Sartre tak hanya dikenal sebagai seorang filsuf. Ia memang menerbitkan banyak buku filsafat. Namun di samping itu, Sartre juga menulis banyak buku seperti drama, novel, hingga skenario film.
Tak hanya Sartre, masih banyak filsuf lain yang bahkan mampu memperoleh penghargaan hingga nobel di bidang sastra. Di antaranya adalah Henri Bergson, Betrand Russell, dan Albert Camus. Filsuf kenamaan Islam, M. Iqbal, pun juga dikenal sebagai seorang penyair. Karya besarnya yang berjudul Asrar-i Khudi menjadi bukti karya yang menunjukkan nilai sastra tinggi di dalamnya.
Gaya berpikir filsafat ini memang kemudian menggiring pemikiran bahwa filsafat dan sastra memiliki persamaan yang cukup dientik satu sama lain. Pendapat ini memang tak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena ekspresi filsafati membutuhkan bahasa serta ungkapan yang mengandung nilai sastra, namun kurang tepat kiranya mengatakan bahwa karya sastra mengandung dimensi filsafati.
Gaya Berfilsafat yang Dikaitkan dengan Sosial Politik
Tak hanya dengan sastra, gaya berfilsafat acapkali diidentikkan dengan pemikiran sosial dan politik. Bahkan tak sedikit orang yang menganggap bahwa filsafat identik dengan politik praktis. Penjelasan yang benar adalah bahwa karya filsafat dipandang memiliki dimensi ideologis yang sangat relevan terhadap konsep negara.
Salah satu contoh filsuf yang menjadi primadona dalam gaya berfilsafat ini adalah karl Marx (1818 - 1883). Marx seolah menjadi icon bahwa pemikiran filsafat sangat cocok diterapkan menjadi konsep negara. Adapun salah satu ungkapannya yang paling terkenal adalah :
Para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia. Kini tibalah saatnya untuk mengubah dunia
Selain Karl Marx, filsuf lain yang juga berfokus pada masalah sosial politik adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau.
Thomas Hobbes, dalam bukunya, Leviathan (1651) menegaskan bahwa kondisi manusia yang natural/alami sangat rentan terhadap kekerasan. Oleh karena itu diperlukan sebuah 'wadah' yang dapat menjamin kelompok individual yang dinamakan Negara. Menurut Hobbes, setiap individu menyerahkan kebebasan alami mereka secara sukarela kepada negara demi mendapatkan keamanan terhadap diri mereka sendiri.
Sedangkan Jean Jacques Rousseau dalam karyanya, Du Contract Sociale, melontarkan sebuah tesis yang berbunyi:
Man is born free, and is everywhere in chains
Bagi Rousseau, negara merupakan perwujudan kehendak umum yang dibentuk oleh sekelompok orang yang merupakan kesatuan pribadi. Paham kan? Jadi setiap individu manusia membentuk sebuah kelompok yang kemudian bersepakat membangun konsep negara (kelompok yang lebih besar) demi kepentingan dan keamanan individu tersebut.
Filsafat Terkait Erat dengan Metodologi
Gaya berfilsafat yang satu ini berarti bahwa para filsuf menaruh perhatian besar terhadap persoalan metode ilmu seperti yang dilakukan oleh dua filsuf ternama, Descartes dan Karl Popper. Descartes mengungkapkan bahwa untuk memperoleh kebenaran, kita harus mulai dengan cara meragukan segala sesuatu. Konsep ini kemudian dikenal dengan Skeptis Metodis. Descartes juga menyajikan langkah-langkah metodis. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Hendaklah kita memulai dengan meragukan segala sesuatu yang selama ini kita ketahui dan terima sebagai sebuah kebenaran.
- Kita mulai mengklasifikasikan persoalan dari hal yang sederhana kemudian menuju hal-hal yang lebih rumit lagi.
- Pemecahan masalah dimulai dari hal sederhana hingga hal rumit.
- Memeriksa kembali secara komprehensif atau menyeluruh sehingga tidak ada hal lain yang terabaikan. Ini karena Komprehensif merupakan salah satu metode dan ciri berpikir kefilsafatan.
Gaya Berfilsafat yang Dikaitkan dengan Kegiatan Analisis Bahasa
Gaya dalam berfilsafat yang satu ini diprakarsai oleh beberapa tokoh yang dinamakan mazhab analitika bahasa. Adapun tokoh-tokohnya adalah Ludwig Wittgenstein, Bertrand Russell, G.E. Moore, Gilbert Ryle, hingga John Langshaw Austin. Corak filsafat ini menekankan pada aktivitas analisis bahasa yang dinamakan Logosentrisme.
Dalam gaya berfilsafat logosentrisme, Ludwig Wittgenstein adalah tokoh sentralnya. Ia mengatakan bahwa filsafat secara keseluruhan adalah kritik bahasa. Tujuan utama filsafat yakni mendapatkan klarifikasi logis mengenai pemikiran. Dengan kata lain, filsafat bukan merupakan sebuah doktrik, namun kegiatan analisis.
Berfilsafat yang Dikaitkan dengan Menghidupkan Kembali Pemikiran Filsafat di Masa Lampau
Pada gaya filsafat ini, aktivitas filsafat mengacu pada penguasaan terhadap sejarah filsafat. Maksudnya untuk mempelajari filsafat adalah dengan mengkaji teks-teks filosofis dari filsuf-filsuf terdahulu.
Berfilsafat yang Dikaitkan dengan Etika atau Tingkah Laku
Gaya berfilsafat yang terakhir adalah mengkaitkan filsafat dengan etika. Pemikiran ini mulai dikenal di awal abad ke-20. Mengapa? Karena etika dipandang sebagai satu-satunya kegiatan filsafat yang paling nyata.
Setidaknya itulah beberapa gaya berfilsafat yang ada. Melihat penjelasan di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa filsafat memang memiliki cakupan yang cukup luas. Bahkan dapat diaplikasikan dengan berbagai cara. Semoga apa yang kami jelaskan pada kesempatan kali ini dapat memberikan manfaat bagi Anda. Sampai jumpa di tulisan filsafat selanjutnya.
Belum ada Komentar untuk "6 GAYA BERFILSAFAT ala K. BERTENS"
Posting Komentar