ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME DAN TOKOHNYA
Aliran filsafat pragmatisme merupakan sebuah aliran yang bertolak belakang atau menentang filsafat idealisme. Hal ini karena idealisme terlalu menonjolkan intelektual dan sifatnya relatif lebih tertutup. Dari sinilah, para penganut pragmatisme mencoba menyajikan hal dan pemikiran baru mengenai cara mencapai sebuah kebenaran.
Sedikit informasi, aliran pragmatisme mulai menjadi perhatian di abad ke-20 di Amerika. Aliran ini diprakarsai oleh C.S Peirce yang dirangkum dalam tesis serta doktrin-doktrin filsafatnya. Oleh karena itulah, pada kesempatan kali ini kami akan mengulas lebih dalam mengenai aliran filsafat pragmatisme mulai dari pengertian, cabang, tokoh, hingga pokok pemikiran pragmatisme di dalamnya. Tak perlu berlama-lama, simak ulasan berikut ini.
Pengertian Pragmatisme
Kata 'pragmatisme' berasal dari Bahasa Yunani Pragmatikos yang secara harfiah berarti berpengalaman dalam urusan hukum, perkara negara, dan perdagangan. Sedangkan secara istilah, aliran filsafat pragmatisme dapat diartikan sebagai sebagai sebuah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran adalah hal yang dilakukan dan dicapai dengan cara yang benar serta dapat memberikan manfaat secara praktis di lingkungan sekitarnya.
Dapat dikatakan bahwa aliran filsafat pragmatisme bersedia menerima segala sesuatu, asalkan sesuatu tersebut dapat membawa akibat praktis yang bermanfaat
Uniknya, dalam aliran filsafat pragmatisme, kebenaran mistis pun dapat diterima. Dengan catatan bahwa kebenaran tersebut dapat membawa akibat praktis yang bermanfaat. Hal ini karena patokan dari aliran pragmatisme adalah 'manfaat bagi hidup praktis'.
Dalam perkembangannya sendiri, aliran pragmatisme memilliki beberapa kesimpulan yang berbeda meskipun berasal dari sebuah gagasan yang sama. Meski demikian, pragmatisme memiliki 3 patokan yang disetujui oleh penganut alirannya yakni menolak segala intelektualisme, absolutisme, dan meremehkan logika formal.
Latar Belakang Kemunculan Aliran Filsafat Pragmatisme
Kami telah menjelaskan di atas bahwa aliran filsafat pragmatisme muncul di Amerika. Kendati demikian, metode yang digunakan sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ini karena Socrates dan Aristoteles pun pernah menggunakannya. Tak hanya itu, filsuf Barat Modern seperti John Locke, David Hume, hingga George Berkeley pun memiliki sumbangan pemikiran yang besar pada aliran ini.
Istilah pragmatisme sendiri diambil oleh C.S. Peirce dari filsuf lain, Immanuel Kant. Dalam tesisnya, Kant menyebutkan 'keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu'. Sedangkan Peirce sendiri mulai mengenalkan aliran pragmatisme dalam sebuah artikel berjudul How to Make Our Ideas Clear.
Peirce menegaskan bahwa teori yang baik harus mengarahkan ke penemuan fakta-fakta baru dan konsekuensi-konsekuensi pemikiran teoritis dalam kenyataan praktis.
Bagi Peirce, hal yang penting adalah pengaruh yang dimiliki oleh sebuah ide dalam suatu rencana tindakan, bukan apa hakikat ide tersebut. Pengetahuan sesuatu tidak lain adalah gambaran yang diperoleh tentang akibat yang dapat disaksikan. Peirce memang mencoba untuk merintis pemikiran filosofis yang baru, sebuah pemikiran yang lain dari pemikiran filosofi tradisional. Pemikiran inilah yang kemudian dinamakan sebagai pragmatisme.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha untuk mengubah filsafat tradisional menjadi lebih ilmiah. Meski demikian, mengubah atau merevisi pemikiran filsafat tradisional bukanlah hal yang mudah dilakukan. Untuk melakukan hal tersebut, diperlukan upaya merevisi logika dan metafisika yang memang menjadi dasar filsafat.
Dengan demikian, aliran filsafat pragmatisme muncul sebagai usaha dalam melakukan refleksi analitis dan filosofis mengenai kehidupan Amerika untuk orang Amerika sendiri. Dari situlah kemudian aliran ini mulai dikenal dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia.
Ciri Khas Aliran Pragmatisme
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa secara umum masyarakat menggunakan istilah pragmatisme untuk menunjukkan bahwa sebuah teori tersebut benar tergantung sejauh apa yang dihasilkan oleh teori tersebut. Teori kebenaran yang dimaksud adalah bagaimana sebuah teori mampu memberikan manfaat.
Menurut Peirce, kebenaran itu ada banyak macamnya. Ia sendiri pun membedakan atau mengkategorikan kebenaran dalam beberapa kelompok. Di antaranya adalah:
Trancendental Truth
Trancendental truth diartikan sebagai letak kebenaran sebuah hal terletak pada kedudukan benda sebagai benda itu sendiri. Secara singkat, letak kebenaran adalah pada 'things as things'.
Complex Truth
Diartikan bahwa kebenaran dari pernyataan-pertanyaan. Kebenaran kompleks ini kemudian dibagi lagi menjadi dua. Pertama adalah kebenaran etis dan kebenaran logis. Kebenaran etis adalah seluruh pernyataan dengan siapa yang diimami oleh pembicara. sedangkan kebenaran logis yakni larasnya sebuah pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Sedangkan untuk patokannya, kebenaran dari sebuah pernyataan tersebut dilandaskan pada pengalaman.
Ide
Lebih khusus, Peirce menjelaskan bahwa ide yang berkaitan dengan salah satu bentuk pasti objek, yang diamati oleh pemilik, merupakan salah satu ciri khas pragmatisme. Ini adalah metode yang digunakan untuk memastikan ide-ide demi mendapatkan kebenaran.
Pandangan Pragmatisme
Kita telah membahas mengenai beberapa corak dan ciri khas pemikiran pragmatisme. Tak lengkap kiranya apabila tak mengulas tentang pandangan pragmatisme itu sendiri. Dalam hal ini, pandangan filsafat pragmatisme dapat dibagi menjadi 3. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Tentang Realitas
Aliran pragmatisme sepenuhnya berbasis pada pendekatan empiris, yakni terhadap apa yang dapat dirasakan. Dengan kata lain, akal, jiwa, dan materi merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari pragmatisme. Bagi penganut paham pragmatisme, pengalaman yang mereka alami akan berubah apabila realitas yang dialami mengalami perubahan.
Lebih jauh, realita bukan termasuk hal yang abstrak. Sebaliknya, realita hanya merupakan sebuah pengalaman transaksional yang secara konsisten berubah. Realitas dan dunia yang diamati oleh manusia tidak bebas dari ide manusia. Hal ini karena manusia serta lingkungan di sekitarnya ada secara berdampingan dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realita. Dunia akan memiliki makna tergantung dari sejauh mana manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk aliran filsafat pragmatisme, tak dikenal istilah metafisika. Ini karena pragmatisme tak memikirkan mengenai makna di balik realitas yang dialami serta diamati oleh panca indra manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk fisik yang merupakan hasil evolusi biologis, sosial, dan psikologis karena terus menerus mengalami perkembangan.
Adapun teori pokok aliran filsafat pragmatisme adalah sebagai berikut:
- Esensi realitas adalah perubahan
- Hakikat biologis dan sosia manusia yang esensial
- Relativitas nilai
- Penggunaan intelegensi secara kritis
Watak dasar dari filsafat pragmatisme adalah humanistik yang menyetujui dali bahwa manusia adalah ukuran segalanya.
Tentang Pengetahuan
Corak yang paling kuat dari aliran pragmatisme adalah kuatnya pemikiran mengenai konsep kegunaan yang cenderung bersifat sains. Oleh karena itulah pengetahuan tidak selalu diidentikkan dengan kepercayaan. Kebenaran yang perlu dipercayai bagi penganut pragmatisme selalu menjadi hal yang sifatnya lebih personal dan tak perlu dikabarkan pada publik. Sedangkan hal yang dianggap perlu diketahui oleh publik harus dikabarkan oleh mereka yang lebih kompeten dan memiliki sifat netral, tidak berpihak. Hal inilah yang menjadikan kebenaran pragmatisme sifatnya relatif dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang valid suatu saat dapat dilupakan seiring berjalannya waktu.
Pragmatisme menyatakan bahwa akal manusia sifatnya aktif dan selalu ingin tahu dan meneliti. Akal manusia tak akan menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pengetahuan menjadi transaksi antara manusia dan lingkungannya. Pengalaman senantiasa berubah. Inti dari pengalaman adalah perubahan masalah yang telah muncul di masa lampau yang membutuhkan alat untuk memecahkan masalah tersebut, yakni dengan pengetahuan.
Aliran filsafat pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan hidup, yakni untuk memajukan kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok. Nilai pengetahuan manusia dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Sebuah ide dapat dikatakan benar apabila dapat memberikan kepuasan dan kemanfaatan setelah melalui pengujian secara objektif dan ilmiah.
Dari sinilah kemudian muncul teori kebenaran yang menjadi alat untuk memecahkan masalah dari pengalaman manusia. Kebenaran yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu yang statis, namun tumbuh berkembang dari waktu ke waktu.
Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan cata tak memihak. Selain itu harus menggunakan cara ilmiah yang memiliki nilai-nilai yang tampak memungkinkan digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia. Nilai-nilai tersebut tak dapat dipaksa untuk diterima, namun akan dapat diterima setelah didiskusikan secara terbuka dengan bukti empiris dan objektif.
Nilai lahir dari keinginan, perasaan, serta dorongan manusia dan kebiasaan mereka sesuai waktanya antara sosial dan biologis dalam kepribadiannya. Nilai merupakan sebuah realitas kehidupan yang merupakan wujud perilaku manusia sebagai pengetahuan dan ide. Nilai dikatakan benar apabila di dalamnya mengandung unsur kebaikan, kebermanfaatan, dan berguna untuk manusia dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan.
Dari penjelasan panjang di atas, dapat diambil garis besar bahwa aliran filsafat pragmatisme dilandasi oleh subjek yang mengalami pengalaman sendiri. Dengan begitu, subjek akan mampu berkembang serta memiliki inisiatif dalam memecahkan masalah mereka.
Dalam prakteknya, pendidikan pragmatisme mengarahkan peserta didik ketika belajar di sekolah tidak jauh berbeda ketika mereka belajar di luar sekolah. Oleh karena itulah kehidupan di sekolah selalu didasari sebagai bagian dari pengalaman hidup, cara menghadapi problema yang ada di sekitar, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Dengan begitu, maka nantinya pendidikan di sekolah dapat membawa peserta didik untuk berpikir kritis serta mampu beradaptasi dengan dunia yang terus menerus mengalami perubahan.
Di samping itu, pendidikan pragmatisme juga menanamkan nilai-nilai demokratis dalam pembelajaran di sekolah. Menurut aliran filsafat pragmatisme, guru menjadi pendamping peserta didik sekaligus pemandu untuk mengarahkan mereka pada hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pendidikan agar dapat memecahkan masalah.
Selain itu, seorang guru juga harus mampu menyusun dan membangun situasi belajar di sekitar masalah yang harus dipecahkan oleh peserta didik. Hal ini karena pada dasarnya siswa adalah orang yang selalu ingin tahu, sehingga mereka harus diarahkan pada eksporasi lingkungan tempat tinggalnya. Dengan begitu, anak-anak akan lebih terdorong untuk meneliti sesuatu yang menarik perhatian mereka. Guru juga berperan dalam memelihara keinginan siswa untuk meneliti.
Setelah mengetahui secara lengkap mengenai aliran filsafat pragmatisme, maka Anda juga harus tahu tentang tokoh aliran pragmatisme. Seperti halnya aliran filsafat yang lain, pragmatisme juga memiliki tokoh pencetus serta tokoh yang berperan dalam mengenalkan dan mengembangkan aliran filsafat ini.
Aliran pragmatisme dicetuskan oleh C.S. Peirce, seorang filsuf asal Amerika. Namun aliran ini mulai dikenal dan dikembangkan oleh dua tokoh terkemuka yakni William James dan John Dewey.
William James mengemukakan bahwa tak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang sifatnya tetap, yang berdiri sendiri, dan terlepas dari akal. Hal ini karena segala sesuatu akan terus berubah sehingga hal yang pernah menjadi kebenaran pun akan berubah. Seiring berjalannya waktu, sebuah kebenaran akan dapat dikoreksi oleh berdasarkan pengalaman sebelumnya. Adapun beberapa karya dari William James adalah The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902), dan Pragmatism (1907).
Tak berbeda jauh dengan William James, pemikiran John Dewey pun hampir menampakkan persamaan. Menurutnya, tujuan filsafat adalah untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. Lebih dalam, John Dewey menegaskan bahwa filsafat tak boleh larut dalam pemikiran metafisis yang kurang praktis karena tidak terdapat kegunaan di dalamnya.
Meski dikenal sebagai tokoh aliran filsafat pragmatisme, namun John Dewey lebih suka menyebut pemikirannya dengan istilah instrumentalisme. Baginya, pengalaman merupakan kunci utama dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itulah filsafat harus berpijak pada pengalaman lalu mengolahnya secara aktif dan kritis. Dengan begitu, maka filsafat mampu menyusun sistem norma dan nilai.
Demikian ulasan yang dapat kami sajikan mengenai aliran filsafat pragmatisme lengkap dengan tokohnya. Semoga penjabaran kali ini dapat bermanfaat bagi Anda.
Tentang Nilai
Pandangan aliran pragmatis juga tak luput dari nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah moral dan etika tidak tetap, melainkan selalu mengalami perubahan. Untuk itulah menguji kualitas suatu nilai sama dengan menguji kebenaran. Nilai moral maupun etis dilihat dari perbuatannya, bukan dari segi teori saja. Jadi pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris yang berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan cata tak memihak. Selain itu harus menggunakan cara ilmiah yang memiliki nilai-nilai yang tampak memungkinkan digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia. Nilai-nilai tersebut tak dapat dipaksa untuk diterima, namun akan dapat diterima setelah didiskusikan secara terbuka dengan bukti empiris dan objektif.
Nilai lahir dari keinginan, perasaan, serta dorongan manusia dan kebiasaan mereka sesuai waktanya antara sosial dan biologis dalam kepribadiannya. Nilai merupakan sebuah realitas kehidupan yang merupakan wujud perilaku manusia sebagai pengetahuan dan ide. Nilai dikatakan benar apabila di dalamnya mengandung unsur kebaikan, kebermanfaatan, dan berguna untuk manusia dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan.
Aliran Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Dari penjelasan panjang di atas, dapat diambil garis besar bahwa aliran filsafat pragmatisme dilandasi oleh subjek yang mengalami pengalaman sendiri. Dengan begitu, subjek akan mampu berkembang serta memiliki inisiatif dalam memecahkan masalah mereka.
Dalam prakteknya, pendidikan pragmatisme mengarahkan peserta didik ketika belajar di sekolah tidak jauh berbeda ketika mereka belajar di luar sekolah. Oleh karena itulah kehidupan di sekolah selalu didasari sebagai bagian dari pengalaman hidup, cara menghadapi problema yang ada di sekitar, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Dengan begitu, maka nantinya pendidikan di sekolah dapat membawa peserta didik untuk berpikir kritis serta mampu beradaptasi dengan dunia yang terus menerus mengalami perubahan.
Di samping itu, pendidikan pragmatisme juga menanamkan nilai-nilai demokratis dalam pembelajaran di sekolah. Menurut aliran filsafat pragmatisme, guru menjadi pendamping peserta didik sekaligus pemandu untuk mengarahkan mereka pada hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pendidikan agar dapat memecahkan masalah.
Selain itu, seorang guru juga harus mampu menyusun dan membangun situasi belajar di sekitar masalah yang harus dipecahkan oleh peserta didik. Hal ini karena pada dasarnya siswa adalah orang yang selalu ingin tahu, sehingga mereka harus diarahkan pada eksporasi lingkungan tempat tinggalnya. Dengan begitu, anak-anak akan lebih terdorong untuk meneliti sesuatu yang menarik perhatian mereka. Guru juga berperan dalam memelihara keinginan siswa untuk meneliti.
Tokoh Filsafat Pragmatisme
Setelah mengetahui secara lengkap mengenai aliran filsafat pragmatisme, maka Anda juga harus tahu tentang tokoh aliran pragmatisme. Seperti halnya aliran filsafat yang lain, pragmatisme juga memiliki tokoh pencetus serta tokoh yang berperan dalam mengenalkan dan mengembangkan aliran filsafat ini.
Aliran pragmatisme dicetuskan oleh C.S. Peirce, seorang filsuf asal Amerika. Namun aliran ini mulai dikenal dan dikembangkan oleh dua tokoh terkemuka yakni William James dan John Dewey.
William James mengemukakan bahwa tak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang sifatnya tetap, yang berdiri sendiri, dan terlepas dari akal. Hal ini karena segala sesuatu akan terus berubah sehingga hal yang pernah menjadi kebenaran pun akan berubah. Seiring berjalannya waktu, sebuah kebenaran akan dapat dikoreksi oleh berdasarkan pengalaman sebelumnya. Adapun beberapa karya dari William James adalah The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902), dan Pragmatism (1907).
Tak berbeda jauh dengan William James, pemikiran John Dewey pun hampir menampakkan persamaan. Menurutnya, tujuan filsafat adalah untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. Lebih dalam, John Dewey menegaskan bahwa filsafat tak boleh larut dalam pemikiran metafisis yang kurang praktis karena tidak terdapat kegunaan di dalamnya.
Meski dikenal sebagai tokoh aliran filsafat pragmatisme, namun John Dewey lebih suka menyebut pemikirannya dengan istilah instrumentalisme. Baginya, pengalaman merupakan kunci utama dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itulah filsafat harus berpijak pada pengalaman lalu mengolahnya secara aktif dan kritis. Dengan begitu, maka filsafat mampu menyusun sistem norma dan nilai.
Demikian ulasan yang dapat kami sajikan mengenai aliran filsafat pragmatisme lengkap dengan tokohnya. Semoga penjabaran kali ini dapat bermanfaat bagi Anda.
Belum ada Komentar untuk "ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME DAN TOKOHNYA"
Posting Komentar